Ah Reum mencemaskan Sun Ha yang tak juga membalas emailnya,
dan hal itu membuat kondisi Ah Reum menurun. Mi Ra tak bisa menyembunyikan rasa
khawatir ketika melihat perawat menambahkan dosis obat pada kantong infus Ah
Reum.
Pada Dr. Lee, Mi Ra bertanya apa dosis obat Ah Reum
bertambah?. Dr. Lee membenarkan karena Ah Reum membutuhkan dosis obat yang
lebih tinggi. Mi Ra heran, bukannya belum lagi ini Dr. Lee sudah menambahkan
dosis obat. Ditanya seperti itu, Dr. Lee bingung ingin menjelaskan apa.
Mi Ra terkejut dan menegur putranya untuk tidak bicara
seperti itu. Ah Reum yang seperti tidak mempunyai harapan malah berkata ia
berhak tahu kapan akan mati. Setengah memarahi, Dr. Lee berkata keadaan Ah Reum
akan semakin membaik.
Ah Reum tahu itu bohong, dengan wajah sedih dia bertanya,
"Apa kau tahu beratnya menunggu mati tanpa harapan?. Katakan saja".
Untuk beberapa detik Dr. Lee dan Mi Ra terdiam mendengar
pertanyaan yang tidak terduga dari Ah Reum. Lalu dengan wajah serius Dr. Lee
bertanya, "Kau sungguh ingin tahu?".
"Ya", jawab Ah Reum lirih
"Paling cepat 1 bulan, paling lama 2 bulan",
sambung Dr. Lee
*************
Ah Reum tertawa terbahak-bahak mendengar cerita lucu Mr.
Jang. Mr. Jang kemudian mengajak Ah Reum untuk pergi ke permandian air panas
musim semi. Ah Reum tentu saja mau, karena ia juga belum pernah pergi ke sana.
Mereka lalu berjanji, dan janji itu di anggap sah setelah mereka membuat stempel dengan mengaitkan jari kelingking mereka. Mr. Jang lalu pamit pulang karena sudah waktunya ayahnya makan.
Mereka lalu berjanji, dan janji itu di anggap sah setelah mereka membuat stempel dengan mengaitkan jari kelingking mereka. Mr. Jang lalu pamit pulang karena sudah waktunya ayahnya makan.
Ah Reum mengantar Mr. Jang keluar rumah sakit, saat berjalan di koridor Ah Reum mengajukan satu permintaan pada Mr. Jang. Sebelum mengatakan apa yang dia inginkan, Ah Reum minta Mr. Jang berjanji untuk tidak marah. Mr. Jang setuju dan menyuruh Ah Reum untuk mengatakan permintaannya.
Diluar dugaan, Ah Reum minta Mr. Jang membawakan soju
untuknya. Ia ingin mencoba bagaimana rasa soju itu sebelum terlambat. Mendengar
itu Mr. Jang langsung marah, "Bodoh!. Terlambat apanya?. Masa depanmu
masih panjang!".
"Ayolah, kakek", rayu Ah Reum seperti seorang cucu
yang merengek pada kakeknya.
Tapi rayuan itu tidak mempan, ia menepis tangan Ah Reum yang
memegang lengannya, "Memangnya kau anggap apa aku?", ucap Mr. Jang
sembari berlalu.
Malamnya, Ah Reum terbangun dari tidurnya. Entah mimpi apa
yang Ah Reum alami, keringat di wajahnya dan napasnya yang memburu menandakan
kalau Ah Reum baru saja bermimpi buruk.
Mi Ra marah saat mengetahui kebenaran dari Seung Chan,
tentang siapa Sun Ha sebenarnya. Ternyata gadis bernama Lee Sun Ha tidak pernah
ada di dunai ini. Itu hanya nama rekaan yang dibuat oleh seorang sutradara
tidak laku. Sutradara itu ingin menulis skenario untuk debut pertama filmnya.
Itu sebabnya dia memulai semua ini. Seung Chan juga mengaku terkejut saat
mengetahui kebenarannya.
"Film tentang apa?", tanya Mi Ra.
"Kisah cinta antara seorang bocah penderita progeria
dengan seorang gadis menderita penyakit mematikan", jelas Seung Chan.
"Lalu apa yang kau lakukan?. Kau sudah melaporkannya ke
polisi", tanya Mi Ra sakit hati.
Seung Chan berkata meski mereka mengadukan hal ini kepolisi,
tetap tidak bisa membuat sutradara gadungan itu di hukum. Karena hal itu tidak
termaksud penipuan. Seung Chan mengerti perasaan Mi Ra yang pasti marah dan
merasa tidak terima, tapi begitulah aturan hukum. Seseorang tidak bisa
ditangkap hanya karena kebohongan. Anggap saja ini sebagai nasib buruk.
"Mudah bagimu untuk mengatakannya", ucap Mi Ra
tidak terima.
"Aku akan membicarakan hal ini pada Ah Reum. Akan aku
katakan kalau gadis itu pergi ke Amerika untuk pengobatan. Mi Ra, jangan
khawatir. Rahasiakan ini antara kita berdua saja", kata Seung Chan
menenangkan.
Mereka tidak tahu, bahwa pembicaraan itu secara tidak
sengaja telah di dengar Ah Reum. Mata Ah Reum berkaca-kaca mendengar
kenyataan yang menyakitkan hati. Tanpa bicara apapun, Ah Reum beranjak
pergi. Tapi hanya beberapa langkah, kaki Ah Reum terasa tak kuat berjalan. Ia
terduduk di lantai dengan perasaan kecewa dan sedih.
Setelah hari itu, sikap Ah Reum berubah. Mi Ra dan Dae Soo
menatap heran pada putranya yang terus-terusan bermain playstasion selama 2
jam. Di hadapan Ah Reum sudah ada makan siang yang siap dia santap. Mi Ra
berusaha membujuk, agar Ah Reum mau makan siang dan segera minum obat sesuai
jadwal. Tapi Ah Reum menjawab nanti saja. Mi Ra yang agak kesal berusaha
mengambil plyastasion dari tangan Ah Reum.
"Jangan ganggu aku!" tepis Ah Reum kasa dan
membuat wadah makanan di depannya terjatuh di lantai.
"Apa yang kau lakukan", bentak Dae Soo.
"Sudah kubilang aku akan makan nanti!", seru Ah
Reum lalu kembali bermain playstasion.
Dae Soo menyuruh Ah Reum untuk meletakan permainan itu. Ah
Reum cuek saja. Hal itu membuat Dae Soo kesal dan merampas benda itu dari
tangan putranya.
"Jangan ganggu aku" seru Ah Reum, "Apa
gunanya aku makan?. Pada akhirnya aku akan mati".
Mi Ra yang sedang membersihkan makanan di lantai, langsung
berdiri terkejut mendengar ucapan Ah Reum.
Ah Reum menangis, "Apa aku pernah melawan kalian?. Aku
hanya ingin melakukan sesuatu yang ku suka sebelum meninggal. Ini yang ingin ku
lakukan sekarang. Kenapa aku tidak boleh bermain ini. Hidupku tidak lama
lagi...".
Mi Ra dan Dae Soo diam tak bisa berkata apa-apa, bibir
mereka terasa kelu untuk sekedar menghibur putra mereka.
Mi Ra menemukan Dae Soo yang menangis di tangga darurat. Tak
mungkin bagi Dae Soo menangis di depan Ah Reum, sehingga dia memilih tempat
sepi untuk menangis seorang diri. Mi Ra mengusap lembut punggung Dae Soo, dan
menangis tanpa suara di punggung suaminya.
Dae Soo tidur di sisi ranjang Ah Reum. Kemudian ia terbangun
begitu mendengar bunyi alarm. Melihat jam menunjukan pukul 03:40, Dae Soo pamit
pada Ah Reum pergi kerja.
"Ayah", panggil Ah Reum, "Boleh aku ikut hari
ini. Aku ingin melihat bintang dari Taman Langit".
"Tidak boleh", jawab Dae Soo
"Ayah...", rengek Ah Reum.
Dae Soo yang tidak bisa menolak permintaan Ah Reum, pada akhirnya mengajak serta Ah Reum kerja. Dae Soo melirik Ah Reum yang duduk di sampingnya, wajah Ah Reum tampak sedih melihat keluar jendela.
Flashback.
Setelah Ah Reum mendengar pembicaraan Mi Ra dan Seung Chan.
Ah Reum menulis surat dengan air mata yang siap jatuh dari pelupuk mata.
"Aku menulis surat terakhir. Sun Ha... selamat
tinggal".
Flashback end.
Ah Reum berlari-lari kecil menuju bukit taman bintang. Ia
terus berlari meski Dae Soo melarang. Dae Soo mengejar dan berhasil menggapai
Ah Reum. Dae Soo bertanya kenapa sikap Ah Reum aneh hari ini.
Dae Soo menjadi semakin heran dan bingung melihat Ah Reum
yang terduduk di rerumputan dan menangis. Dae Soo bertanya kenapa Ah Reum
menangis, apa terjadi sesuatu?.
"Aku hanya sangat bahagia?", ucap Ah Reum menutupi
kesedihan.
"Apa maksudmu?"
"Aku sangat bahagia dengan semuanya", ucap Ah Reum
lalu menangis lebih keras.
Dae Soo menjadi sedih, ia memeluk putranya erat-erat.
Membiarkan Ah Reum meluapkan semua kesedihan yang dia pendam.
Ah Reum tidur diatas rerumputan menatap hamparan bintang di
langit malam. Dae Soo bertanya berapa lama mereka harus menunggu. Ah Reum
minta ayahnya untuk bersabar. Dae Soo merebahkan badannya di samping Ah Reum,
saat itulah Ah Reum menunjuk ke atas langit,
"Itu, lihatlah. Bintang jatuh", seru Ah Reum.
"Mana?.. Mana... Ayah tidak melihatnya", sesal Dae
Soo.
Ah Reum berkata akan ada lagi bintang jatuh yang tadi
itu awalnya saja. Terlihat bintang jatuh melintas di atas mereka, kali ini
Dae Soo melihatnya. Ia merasa senang sudah lama tidak melihat bintang jatuh.
"Apa ayah membuat permintaan?".
"Tidak, ayah lupa".
"Jika bintang jatuh lagi, jangan lupa membuat
permintaan".
"Baik. Bagaimana denganmu?".
Ah Reum menjawab sudah membuat permintaan. Dae Soo ingin
tahu, permintaan apa?. Tapi Ah Reum tidak mau memberi tahu, rahasia. Ah Reum
merasa sangat senang berada di sini bersama ayahnya melihat bintang, "Dan
aku sangat senang, karena ayah adalah ayahku".
"Ayah juga. Ayah sangat senang kau adalah putraku. Anak
baik sepertimu harusnya tidak sakit".
Dae Soo berseru melihat bintang jatuh kembali melintas di
langit malam. Kali ini Dae Soo tidak lupa berdoa untuk membuat permintaan. Ah
Reum tidak melihat, ia memejamkan matanya yang tampak lelah.
Saat membuka mata kembali, pandangan Ah Reum menjadi kabur.
Samar-samar ia melihat ayahnya yang berdoa dengan mengatupkan kedua tangan. Ah
Reum lalu mengangkat tangannya, semakin lama pandangannya semakin kabur dan
gelap. Ah Reum duduk dengan mengangkat tangannya.
Dae Soo ikut duduk dan mengajak Ah Reum kembali kerumah
sakit sekarang. Melihat wajah Ah Reum yang tegang, Dae Soo bertanya ada apa?.
Kau tidak enak badan?.
"Ayah.....Aku tidak bisa melihat", ucap Ah Reum
lirih.
"Apa maksudmu?. Kau tidak bisa melihat apa-apa?",
tanya Dae Soo panik.
Ah Reum mengangguk, "Aku tidak bisa
melihat".
"Bintang terang di langit malam. Bintang jatuh dan
wajah ayahku adalah hal terakhir kali yang aku lihat".
Dae Soo berlari sembari menggendong Ah Reum. Ah Reum meminta
maaf, seharusnya ia yang menggendong ayahnya di usianya saat ini. Dae Soo tidak
mempermasalahkan hal itu, yang penting mereka hampir sampai di rumah
sakit.
Ah Reum di larikan ke UGD. Mi Ra dan Dae Soo cemas melihat kondisi putra mereka yang semakin lemah. Dr. Lee datang, Mi Ra langsung bertanya apa Ah Reum baik-baik saja?. Kenapa dia belum bangun juga?. Dr. Lee minta Mi Ra jangan terlalu khawatir, tubuh Ah Reum terlalu lemah sehingga ia beri obat penenang.
"Kenapa dia tiba-tiba tidak bisa melihat?", tanya Dae
Soo.
"Penyakit geriatrik ini datang tanpa peringatan. Arteri
retinanya tertutup. Tingkat stres yang tinggi bisa mempengaruhi tekanan
intraokular. Ny. Han, apa Ah Reum mengalami trauma baru-baru ini?".
Dae Soo menoleh pada Mi Ra yang diam tidak menjawab.
Dae Soo menemui Seung Chan untuk menuntut penjelasan. Ia
mencoba menahan emosinya dan bertanya dimana sutradara gadungan itu
tinggal.
Sampailah Dae Soo di sebuah rumah kecil. Saat Dae Soo datang
si penghuni rumah sedang pergi. Di dalam rumah, Dae Soo melihat artikel surat
kabar yang memuat berita tentang Ah Reum menempel di dinding. Dan juga naskah
yang telah di tulis oleh sutradara itu, naskah itu di beri judul "Jejak
Waktu".
Dae Soo mengambil salah satu naskah dan melihat nama Han Ah
Reum dan Sun Ha menjadi tokoh utama. Tak lama kemudian sutradara datang,
melihat orang asing berada di dalam rumahnya dia bertanya, "Siapa
kau?". Dae Soo berbalik memperlihatkan wajahnya. Sutradara yang mengenali
wajah Dae Soo menjadi takut.
Dae Soo mendorong sutradara hingga tersungkur, "Kenapa
kau melakukannya?. Kenapa kau memilih anakku?. Dia sekarat!!!".
Dae Soo memukul wajah sutradara dan hendak menginjak pria
itu, tapi tidak jadi begitu mendengar permintaan maaf dan rintihan. Terlebih
lagi saat melihat sutradara yang memasang wajah memelas sembari memegangi
kakinya yang cacat.
Dae Soo berteriak meluapkan kemarahan, "Berdiri",
ucapnya menarik sutradara berdiri dan mendorongnya ke tembok. Tangannya
mengepal siap memukul.
"Maafkan aku", ujar sutradara memelas membuat
tangan Dae Soo tertahan di udara.
Dae Soo tetap melayangkan pukulan, bukan ke wajah sutradara
tapi ke tembok yang berada di sebelahnya. Dae Soo memukul tembok berkali-kali
sembari menangis marah, "Kenapa!. Kenapa!. Kenapa!!".
Yang terjadi kemudian, Dae Soo dan sutradara duduk bersama
minum soju. Sutradara sudah mulai mabuk. Alasan ia membohongi dan menjadikan Ah
Reum sebagai karakter utama, karena ia pikir dirinya berbakat dan bisa menulis
cerita yang bagus. Sutradara berkata ia tidak akan melakukannya jika kakinya
tidak cacat. Sutradara juga memuji Ah Reum adalah anak yang hebat.
Dae Soo menambahkan Ah Reum anak yang cerdas, ia mengatakan
ini bukan karena Ah Reum adalah anaknya. Melihat Ah Reum tumbuh dewasa, Dae Soo
baru menyadari perumpamaan yang mengatakan orang tua akan merasa kenyang
melihat anaknya makan. Melihat Ah Reum membaca buku membuat Dae Soo merasa
bertambah pintar.
Dae Soo memuji Ah Reum yang pintar menulis. Ia mengeluarkan
lipatan kertas dari dalam dompet, "Ini puisi yang di tulis anakku. Judul
'Ayah", bercerita tentang aku. Sutaradara film?. Lewat!. Bacalah. Dia jauh
lebih pintar menulis dari dirimu".
"Ayahku bertanya padaku, kau ingin menjadi apa jika di
lahirkan kembali?.
Ku jawab dengan lantang, "Ayah, aku ingin menjadi
seperti Ayah".
Ayahku bertanya padaku, Masih banyak yang lebih bagus, kenapa
kau ingin menjadi seperti Ayah?'
Ku jawab dengan pelan......."
Puisi yang di tulis Ah Reum menggugah Dae Soo untuk mengunjungi ayahnya yang telah lama dia tinggalkan. Dae Soo sempat ragu sebelum akhirnya masuk ke halaman rumah. Ayah Dae Soo yang mendengar suara pagar berderit membuka jendela untuk melihat siapa yang datang.
Dae Soo menelah ludah melihat ayahnya yang tampak semakin
tua. Ayah Dae Soo terkejut dalam diam, seakan tak percaya pria yang ia lihat
kini adalah Dae Soo, putranya yang telah lama pergi.
Dae Soo sungkem di depan ayahnya dengan canggung. Setelah
itu ia mengamati wajah ayahnya yang tampak lelah dan rambutnya yang memutih,
"Ayah semakin tua".
"Kau juga bertambah dewasa".
Dae
Soo bertanya apa ayah sehat. Ayah Dae Soo mengiyakan, setidaknya organ di dalam
tubuhnya masih berfungsi dengan baik. Ayah Dae Soo menyalakan sebatang rokok
dan mulai menghisapnya. Mata Dae Soo berkeliling melihat setiap sudut rumah dan
melihat artiket tentang Ah Reum tertempel di sisi lemari lengkap dengan nomor
rekening bantuan.
Dae
Soo ingat ketika Mi Ra memberitahu donator tanpa nama yang menyumbang sebesar
10 juta Won. Dae Soo terpaku menyadari satu hal, donator tanpa nama itu tak
lain adalah ayahnya sendiri. Ayah Dae Soo mengikuti arah pandang Dae Soo yang
terpaku pada artikel Ah Reum.
'Aku
mendengar penderita Progeria hanya bisa hidup sampai 10 tahun. Tapi karena dia
sehat sepertimu, dia mampu bertahan hidup selama ini", kata ayah Dae
Soo.
"Maafkan
aku, Ayah. Maafkan aku", ucap Dae Soo terisak.
Ayah
Dae Soo menawari Dae Soo rokok. Dae Soo tak menolak dan mengambil bungkus rokok
yang di ulurkan ayahnya.
"Aku
memilikimu saat ayah seusiamu. 33 tahun, itu usia yang pas. Banyak yang bisa di
lakukan dalam hidup. Melihat siaran itu, aku lebih mencemaskan putraku. Dae
Soo-ah, kau banyak menderita".
Mata ayah Dong Soo memerah menahan tangis. Pundak Dae Soo bergetar, menangis dengan perasaan menyesal dan bersalah.
Ayah Dae Soo mengantar Dae Soo keluar. Meski sulit bagi Ah Reum untuk berkunjung, Dae Soo janji akan kembali datang kemari bersama Mi Ra. Sebelum pergi, ayah Dong Soo mengulurkan kantong plastik pada Dae Soo.
Dae Soo menerima kantong plastik itu dan melihat isinya. Topi rajutan berwarna merah hati.
Dae Soo menerima kantong plastik itu dan melihat isinya. Topi rajutan berwarna merah hati.
"Kupikir cucuku menyukai topi", ucap ayah Dae Soo berharap Ah Reum menyukai topi pemberiannya.
Dae Soo terkejut sekaligus tersentuh. Ia membungkuk hormat pamit pulang.
Sebelum masuk mobil, Dae Soo minta ayahnya untuk masuk ke dalam rumah. Ayah Dae Soo mengangguk. Tapi sampai taksi Dae Soo berjalan pergi, ayah Dae Soo masih berada di luar. Dari kaca spion, Dae Soo melihat sedih ayah yang melambaikan tangan mengantar kepergiannya.
Sebelum masuk mobil, Dae Soo minta ayahnya untuk masuk ke dalam rumah. Ayah Dae Soo mengangguk. Tapi sampai taksi Dae Soo berjalan pergi, ayah Dae Soo masih berada di luar. Dari kaca spion, Dae Soo melihat sedih ayah yang melambaikan tangan mengantar kepergiannya.
Dae Soo tiba di rumah sakit dan melihat Mi Ra tertidur di sisi ranjang Ah Reum. Ia duduk dan membelai rambut yang menutupi wajah Mi Ra. Namun, sentuhan halus itu malah membangunkan Mi Ra.
Mi Ra menemani Dae Soo sarapan di rumah makan terdekat. Mi Ra menyuruh suaminya untuk segera makan. Dae Soo memanggil Mi Ra. Mi Ra tahu Dae Soo hendak mengatakan sesuatu, tapi sebelum itu ia minta agar Dae Soo makan dulu.
Mi Ra pesan satu botol pada pemilik warung makan. Dae Soo menegur Mi Ra tidak boleh minum alkohol. Mi Ra tahu, tapi ia ingin minum segelas saja. Soju datang, mereka minum bersama.
"Dae Soo-ah, berhentilah bekerja", pinta Mi Ra
"Aku harus mencari nafkah", ucap Dae Soo tertawa getir.
"Tinggalah di sisi Ah Reum lebih lama. Ah Reum.......tidak punya banyak waktu lagi", bibir Mi Ra bergetar menahan tangis.
"Jangan bilang begitu!".
"Aku tahu. Seorang ibu bisa tahu",
"Mi Ra-ah", Dae Soo menyentuh tangan Mi Ra.
Mi Ra berusaha untuk menahan tangis, tapi pertahananya jebol. Ia menangis sesengukan dan Dae Soo mengenggam erat tangan Mi Ra.
Mi Ra membacakan Ah Reum dongeng. Menurut mitos Yunani air susu hera menjadi bima sakti. Hal ini umumnya di kenal sebagai jalan menuju kehidupan selanjutnya. Mi Ra lalu bertanya, jadi orang yang telah mati akan berkumpul dan menjadi bintang?.
Ah Reum menjawab bima sakti dikenal sebagai penghubung surga dan dunia di malam hari. Di ujungnya terletak tempat untuk orang mati, "Kuharap aku bisa bertemu dengan Ayah dan Ibu lagi di sana. Tapi, itu tidak mungkin terjadi", ucap Ah Reum pesimis.
"Tidak", sahut Mi Ra menghibur, "Ibu yakin, kita akan bertemu lagi. Kita di pertemukan oleh takdir".
"Sungguh?"
"Tentu saja", ucap Mi Ra mengenggam tangan Ah Reum.
"Ibu, hanya karena ibu tidak bisa melihat bintang bukan berarti bintang itu hilang, kan?. Bintang tidak terlihat di siang hari, tapi bintang itu tidak hilang".
Air mata Mi Ra menetes, "Oh... Ibu pernah mendengar hal itu. Ibu yakin pernah mendengarnya, tapi dimana?".
Mr. Jang datang menyapa Ah Reum dengan riang. Ah Reum pun senang mendengar suara Mr. Jang. Mr. Jang heran melihat arah pandang Ah Reum yang menuju ke tempat lain. Ia menggerakan tangannya di depan wajah Ah Reum, tapi tentu saja Ah Reum tidak bisa melihatnya.
Mr. Jang mendorong kursi roda Ah Reum, mengajak sahabat kecilnya itu jalan-jalan. Ah Reum minta maaf, seharusnya Mr. Jang yang duduk di kursi roda dan ia yang mendorong kursi. Mr. Jang tidak mempermasalahkan menurutnya ini termaksud olahraga.
Mereka lalu duduk di taman. Mr. Jang membungkus tangan Ah Reum yang terasa dingin. Ah Reum heran apa terjadi sesuatu?. Karena menurutnya sikap Mr. Jang terlalu baik hari ini. Mr. Jang mengatakan sikapnya memang baik sejak dulu. Tetapi itu hanya berlaku pada wanita dan anak kecil.. hahaha.
Mr. Jang membuka tasnya, ia menengok ke kanan dan ke kiri lalu dengan sembunyi-sembunyi mengeluarkan sebotol soju. Mr. Jang meraih tangan Ah Reum dan meletakannya di leher botol Soju, "Peganglah ini".
Ah Reum terkejut, "Oh.......ini...."
"Ya", Mr. Jang lalu menuangkan minuman itu ke cangkir plastik lalu memberikannya pada Ah Reum, "Minumlah. Pelan-pelan".
Ah Reum meminumnya perlahan. Mr. Jang bertanya bagaimana rasanya?. Keras, jawab Ah Reum tapi ia merasa lega, tidak ada lagi penyesalan sekarang. Mr. Jang menyuruh Ah Reum untuk minum sedikit lagi, sisanya akan ia habiskan.
"Mr. Jang, kata ayah minum alkohol cocok dengan mendengarkan lagu sedih. Bisakah kau menyanyikan lagu?".
Mr. Jang protes, "Setelah meminta ku membawa minuman keras, kau minta di hibur sekarang?", Mr. Jang lalu tertawa, "Kenapa tidak?".
Mr. Jang bernyanyi dengan pelan, Ah Reum mendengarnya sambil menghabiskan minuman di gelas. Nyanyian Mr. Jang berhenti ketika melihat butiran putih turun dari langit, "Woah...turun salju".
Ah Reum tersenyum, "Salju pertama".
Mr. Jang mengajak Ah Reum masuk, udara semakin dingin di luar. Mr. Jang cerita besok ia akan mencari panti jompo bersama ayahnya. Mr. Jang menyadari semakin lama ia menjadi semakin pelupa dan tidak bisa menjamin masa depan.
"Jaga dirimu, temanku. Kelak kita akan bertemu lagi".
Ah Reum sedikit berbalik, mengenggam tangan Mr. Jang. Seakan memberi kekuatan pada sahabatnya itu.
Bersambung ke Part 4
No comments:
Post a Comment
Thanks sudah mampir di blog saya, jangan lupa tinggalkan komentar ya...Trims....:)